Alkisah ada seorang murid yang ingin belajar ilmu beladiri, kemudian masuklah dia ke suatu kelas ilmu beladiri modern, kelas ilmu beladiri modern ini diajarkan oleh seorang profesor ahli ilmu beladiri modern, profesor ini sudah banyak melakukan penelitian ke hampir semua ilmu beladiri yang ada didunia. Di dalam kelas murid ini diajarkan beberapa teori tentang ilmu beladiri, jenis-jenis ilmu beladiri ditinjau dari segi kelebihan dan kekurangan, tidak lupa dijelaskan juga assal usul atau sejarah ilmu beladiri. Hampir semua ilmu beladiri di jelasskan didalam kelas. Di akhir semester ujian dilaksanakan, seperti biasa profesor memberikan soal kepada murid untuk dijelaskan, dimulai dari sejarah ilmu beladiri, jenis ilmu beladiri hinggi kelebihan dan kekurangan ilmu beladiri. Sebagian besar murid yang rajin belajar lulus ujian ini dan mendapatkan nilai A. Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan belajar seperti ini seorang murid menjadi ahli beladiri, jawabannya sudah jelas diatas kertas "ya" tapi dilapangan ..."tidak".
Mengutip pernyataannya Prof. Rhenald Kasali dalam suatu tulisan " Keluar dari kecakapan ujian"
" Untuk memberikan ilustrasi, saya ceritakan kembali pengalaman saya (Rhenald Kasali, Red) saat mengajar mata kuliah “International Marketing”. Mata kuliah ini diberikan kepada mahasiswa senior di Program S1 dan sebagai prasyaratnya mereka harus sudah lulus “Dasar-Dasar Marketing”. Suatu ketika saya iseng menanyakan berapa mahasiswa yang mendapat nilai A di kelas marketing yang diambil satu dua semester sebelumnya, dan saya minta mereka maju kedepan. Dan sungguh saya tak percaya bagaimana anak-anak yang kurang bergaul, kurang pandai mengekspresikan pikiran, bahkan dikenal sebagai anak yang berbicara sinis, dan berpenampilan tidak “marketable” dari kacamata rekan-rekannya, bisa diberi nilai A.
Begitulah “ the power of exam merit”. Mereka mendapatkan nilai “A” dalam transkrip nilai karena bertemu dengan pengajar-pengajar yang hanya berorientasi pada hasil ujian, bukan pendidik yang mengubah cara mereka berpikir. Di atas kertas pada saat ujian mereka benar-benar cerdas, hafalannya bagus, analisisnya ok, tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu mengaplikasikan pengetahuannya?...."
Begitulah “ the power of exam merit”. Mereka mendapatkan nilai “A” dalam transkrip nilai karena bertemu dengan pengajar-pengajar yang hanya berorientasi pada hasil ujian, bukan pendidik yang mengubah cara mereka berpikir. Di atas kertas pada saat ujian mereka benar-benar cerdas, hafalannya bagus, analisisnya ok, tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu mengaplikasikan pengetahuannya?...."
Ilustrasi yang lain, misalnya pada pembelajaran "Pendidikan Moral Pancasila" di jelaskan mengenai prilaku yang bermoral dengan segala definisinya dan contohnya, atau pendidikan anti korupsi yang membahas nilai-nilai antikorupsi seperti keadilan, keberanian, dan kepedulian. Bila pola pendidikan diberikan dengan cara yang sama, sudah tentu semua siswa yang memiliki hafalan bagus akan mendapat nilai A, tidak perduli dia orangnya jujur, bermoral atau tidak.
Kalau demikian cara kita mendidik anak-anak ini, maka bisa di bayangkan mengapa pengusaha mengeluh lulusan-lulusan kita tidak siap pakai, dan mengapa banyak profesi lulusan yang tidak sesuai dengan jurusan ketika sekolah. Anak-anak mengeluh sekolahnya susah karena mereka tidak bisa mengekspresikan bakat yang mereka cintai. Guru guru mengeluh karena murid tidak mempersiapkan belajar di rumah dengan baik. dan tentu saja di masa depan, dari sistem pendidikan seperti ini hanya akan dilahirkan sarjana-sarjana kertas, atau ilmuwan-ilmuwan paper, yang hanya asyik membuat makalah, bukan impact!. Muridnya asik mengejar nilai, gurunya asik mengejar kum untuk kenaikan pangkat.
Pembelajaran berpusat pada murid bukan pada guru.
Mengutip pernyataanya Prof. Rhenald kasali dalam tulisan "Belajar Non Formal"
"Tahukan Anda bahwa ilmu yang kita pelajari di kampus cepat tertinggal? Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan adu kejar antara dosen dan para penjelajah pengetahuan terus terjadi. Sebagian besar ilmu itu ada di dunia maya, dan sebagian lagi ada di tangan orang-orang hebat. Saya pikir inilah saatnya bagi para social entrepreneur untuk membangun komunitas-komunitas pembelajaran yang bergengsi tinggi dan memberi impak besar. Brandnya harus kuat agar para remaja tidak patah semangat, namun ilmunya harus lebih kuat lagi."
Pola pembelajaran yang ada saat ini, dimana seorang guru membuat slide kemudian di jelaskan didepan kelas, tugas murid adalah mendengarkan, memahami dan menghafalkan apa yang ada dalam slide yang dibuat oleh guru. Pengalaman pribadi saya dalam mengamati cara belajar mahasiswa adalah, hanya dengan menghafal apa yang ada dalam slide dan berlatih mengerjakan soal, seorang mahasiswa bisa mendapatkan nilai A, mengapa demikian, karena soal yang diberikan tidak akan jauh-jauh dari slide yang dibuat oleh guru. Akibatnya ilmu siswa hanya terbatas pada slide yang diberikan oleh guru, padahal ilmu yang ada dalam slide masih sama dengan ilmu 10 tahun yang lalu ketika gurunya masih sekolah.
Mengutip tulisan Prof A.A Karim dari university sains malaysia dalam tulisan "No place for chalk and board " dan "From Teaching to Learning Paradig" didalam blognya terdapat kutipan seperti ini
"If we teach today's students as we taught yesterday's, we rob them of tomorrow"
-- John Dewey.
-- John Dewey.
"I cannot teach anybody anything; I can only make them think" – Socrates
"I never teach my pupils; I only attempt to provide the conditions in which they can learn" – A. Einstein
"I never teach my pupils; I only attempt to provide the conditions in which they can learn" – A. Einstein
Kurikulum berbasis kearifan lokal (Sumber daya alam lokal)
Beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi sebuah sekolah di daerah pegunungan di sumatra utara, karena bidang saya kimia, saya bertanya pada salah satu murid, materi apa yang dipelajari pada mata pelajaran kimia. Murid itu menjelaskan sambil menunjukan sebuah buku "Kimia disekitar kita", materi inilah yang dipelajari. Dari judul bukunya cukup menarik, kimia disekitar kita, namun sayang kita yang mana, kalau kata bahasa anak muda sekarang " elu kali gua kagak". Sayang sekali kalau di sekitar kitanya disamakan dari seluruh penjuru tanah air, padahal sudah tentu wilayah pedesaan, wilayah pantai, wilayah industri dan perkotaan punya masalah yang berbeda-beda. Kebetulah daerah yang saya kunjungi adalah wilayah perkebunan kopi, cengkeh, dan hutan, namun sayang didalam ilmu kimia yang di pelajari tidak diajarkan metode ekstrak yang berhubungan dengan kopi dan cengkeh dan tidak ada pula pelajaran yang menjelaskan kalau dihutan bisa saja ditemukan tanaman sumber minyak gaharu, yang harga minyak kualitas rendahnya saja bisa mencapai Rp 2jt perliternya. Seandainya semua materi pelajaran disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing, tentu siswa akan lebih semangat lagi untuk mempelajarinya karena ilmu yang diperoleh disekolah dapat langsung dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila demikian lulusan SMA pun sudah dapat berkarya diwilayahnya masing-masing, tidak perlu lagi terjadi orang-orang desa pergi kekota supaya ilmunya dapat diterapkan, karena didesa masing-masing ilmunya sudah dapat diterapkan. Lalu bagaimana dengan UAN, beberapa guru mengeluh karena mereka dikejar target agar siswanya bisa lulus UAN. Mengutip pernyataan Prof. Renald Kasali dalam tulisan "Keluar dari kecakapan ujian " yang isinya :
"Mengapa ujian nasional menjadi segala-galanya dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara lain untuk membuka pintu masa depan anak selain ujian? Saya (Rhenald Kasali, red) ingin mengajak bangsa ini keluar dari metode pendidikan cara pabrikan yang menghasilkan “produk-produk” yang standar, yang seakan-akan anak adalah “output” hasil produksi. Kita seperti sedang melewati sebuah area "ban berjalan" dengan seorang manajer Jepang, yang mengawasi ada-tidaknya produk yang cacat (defect), di luar standar. Mereka yang berada di luar standar itu dalam pendidikan kita sebut “berbakat khusus” (special talent), namun di pabrik kita sebut “produk gagal”. Jelajahilah mesin pencari Google dan ketiklah kata “special talent”, maka Anda akan menemukan anak-anak seperti inilah yang ditawari beasiswa. Namun apa yang kita lakukan dengan anak-anak itu di sini?"
Beberapa materi pelajaran yang dapat di UAN adalah materi yang isinya sama di seluruh indonesia, seperti Matematika, B. Indonesia, B. Inggris, dan Agama, sedangkan untuk materi yang lain diarahkan berbasis kearifan lokal.
Berapa banyak pelajaran yang harus diwajibkan di sekolah ?
Kadang saya terheran heran melihat anak SD sekarang sekolah dari pagi hingga sore, kapan mereka bisa bermain. Benarkan pendidikan ini semakin berat semakin hebat ?. Mengutip pernyataannya Prof. Renald kasali yang berjudul "Pendidikan : Benarkah semakit berat semakin hebat."
"Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita ?. Bukannya dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?" minggu lalu, saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan menuntaskan 16 mata pelajaran, seorang ibu menyurati saya karena anaknya yang belajar di MI diwajibkan tuntas 23 mata pelajaran. Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah hanya mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit "The Power of Simplicity", kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak akan melahirkan kehebatan". Bukan hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan karier masa depan. Bagaimana di sini ? "
Amat disayangkan kalau waktu muda, anak-anak kita dihabiskan untuk mempelajari pendidikan disekolah yang materinya jauh panggang dari pada api. Anak-anak menjadi jenuh untuk belajar, ilmu yang diperolehnya pun hanya sebatas supaya lulus ujian dan menyelesaikan masalah diatas kertas. Bagaimana dengan nasib anak-anak di desa dimana waktu anak-anak itu begitu berharga untuk membantu orang tuanya di ladang, sementara ilmu yang diperoleh disekolah tidak satupun yang berhubungan dengan masalah dipedesaan. Akibatnya, tentu saja semua anak di desa setelah lulus, tujuannya adalah kekota, meninggalkan desa mereka yang kaya akan sumber daya alam. Anak-anak desa bingung kalau tetap tinggal di desa, karena itu artinya, ilmu mereka selama sekolah tidak dapat diterapkan. Amat disayangkan, padahal kekayaan indonesia terletak di desa, kalau kekayaan alam itu tidak dikelola, wajar saja kalau penduduk desa miskin, penduduk kota juga sama saja.
Teringat pernyataan Dosen saya ketika kuliah dulu, kalau beliau menjadi menteri pendidikan, maka yang pertama kali dihapus adalah kurikulum, karena kurikulumlah yang membuat bangsa ini bodoh. Pernyataan ini terus menjadi bahan pemikiran saya hingga saat ini, benarkah seperti ini ?.... Kalau ini benar, amat disayangkan waktu anak-anak muda kita yang sekolah dari pagi hingga sore dari anak-anak hingga remaja, dari sekian banyaknya waktu yang dikeluarkan, dan dari sekian banyaknya biaya yang dikeluarkan, hanya menjadikan anak kita macan kertas, tanpa bisa berkarya menyelesaikan permasalahan bangsa, dan hanya bisa menjual kekayaan alam kita atau memberikan kebangsa lain untuk mengelolanya, sedangkan tuan rumahnya atau rakyat indonesia hanya bisa menjadi karyawan atau buruh.
Wajar kalau sebagian besar bangsa ini mengejar status, mengejar jabatan, mengejar kenaikan pangkat, mengejar SK, karena dengan secarik kertas jabatan, kita akan mendapatkan penghasilan yang luar biasa, usaha sebesarnya dilakukan untuk mendapatkan jabatan, jabatan bukan dianggap sebagai amanah, namun jabatan dianggap sebagai lahan basah. Berkarya ataupun tidak berkarya, asal sudah mendapatkan jabatan penghasilannya sama saja. Beginilah akibat dari pendidikan macan kertas, setelah bekerja pun targetnya masih kertas.
Penulis berharap, kelak pendidikan di Indonesia bisa lebih fokus lagi terhadap pengelolaan sumber daya alam di masing-masing wilayah, sekolah-sekolah berbasis kurikulum yang menajamkan pengelolaan sumber daya alam disekitarnya , lulusan-lulusan sarjana dapat lebih fokus lagi mengembangkan sumber daya alamnya di wilayah masing-masing. Penulis berharap rakyat indonesia bisa lebih sejahtera lagi, menikmati kekayaan alam indonesia yang melimpah dari sabang sampai merouke.
sumber : http://katalispendidikan.blogspot.com/